"Jadi gimana dong dok?", tanyaku lirih pada dokter.
"Gimana kalo saya rujuk ke Prof. Budi, beliau ini guru saya dan ahlinya bidang alergi."
Kami saling berpandangan, mataku menyiratkan pertanyaan pada suamiku "gimana?" dan yang ditanya dengan isyarat hanya menjawab dengan tatapan bingung.
Baru beberapa pekan kemarin kami memeriksakan si bungsu ke dsa tentang alerginya yang sering sekali kambuh ditandai dengan bentol-bentol dan batuk. Lalu hari ini kami mencoba memeriksakan kembali ke dokter yang berbeda, salah satu dokter spesialis anak langganan kakaknya dulu dan aku memang cocok konsultasi dengan beliau.
Saat kuceritakan bagaimana keadaan si bungsu yang mana sering batuk-batuk saat malam, subuh atau tak terduga saat kondisi dingin sang dokter langsung menyebutkan nama Prof. Budi.
Beliau juga menyebutkan bahwa kemungkinan Maryam mengalami asma, yang bisa berasal dari genetik dan juga alergi awalnya. Dan harus segera ditangani sebelum ia berusia 5 tahun. Agar gejalanya tidak kembali dan on off. Karena saat ia sudah berumur 5 tahun maka akan sulit untuk menghilangkannya. Maka dari itu beliau menyarankan ke dokter lain yang punya kekhususan di bidang alergi dan imunologi.
Sebenarnya aku sudah lelah harus kembali berkunjung ke dokter, tapi jiwaku ini merasa tak tenang dan penasaran apa memang benar anakku mempunyai penyakit asma, sama denganku atau hal lain yang menjadi penyakitnya. Hingga akhirnya aku setujui saja saran dari dokter dengan membawa surat rujukan ke Profesor.
Kami pun keluar ruangan dokter dengan langkah gontai. Kuperhatikan sekeliling rumah sakit yang aku sudah hafal betul sudut demi sudutnya. Rumah sakit yang interior maupun eksterior bangunannya tak seperti rumah sakit pada umumnya. Dengan prokes yang ketat dan kenyamanan selama menunggu antrian. Disini, aku merasa mengingat kejadian beberapa tahun silam dimana Kakak pernah diranap 2 kali dengan diagnosa yang membuatku trauma. Astagfirullah. Dan hari ini kami kembali disini bersama si bungsu dan harus mendengar penjelasan dokter yang jujurly membuatku kepikiran.
Kulihat wajah Abi merenggut, murung dan tak banyak berkata. Mungkin saja beliau pun sedang banyak berpikir atau galau.
Sambil menunggu antrian pengambilan,kami mencari tahu jadwal praktek Profesor tersebut yang ternyata besok sore. Aku sendiri sebenarnya ragu untuk meminta suamiku setuju untuk menemuinya besok mengingat suamiku juga akan berangkat kembali bekerja di hari Jumat. Takutnya beliau ingin beristirahat dan tak kemana mana sebelum pergi kerja nanti. Dari raut wajahnya pun aku mengira bahwa beliau sedang tak enak diajak diskusi. Lalu bagaimana dong? Sementara ini adalah hal yang urgent menurutku karena berhubungan dengan kesehatan anak.
Akhirnya kuberanikan diri memberi tahunya, dan keinginanku untuk segera membawa Maryam ke profesor tersebut. Alhamdulillah, beliau setuju tapi masih dengan wajah yang tak nyaman. Kucoba tak ambil pusing sikapnya yang berubah menjadi dingin seperti es.
Saat pulang Kakak mengatakan ia lapar dan ingin makan, aku pun menyetujuinya kemudian kami pun mencari tempat makan.
Di tempat makan anak-anak tampak senang dengan adanya area bermain anak. Mereka tampak ceria dan bahagia meski hanya menaiki sebuah perosotan sederhana.
Berbanding terbalik dengan anak-anak yang tampak ceria dan bahagia, kuperhatikan suami yang semakin murung dan dingin. Kucoba cairkan suasana dengan mengajaknya mengobrol tapi ia bilang ia sedang tak ingin mengobrol. Ku coba meminta maaf apabila aku punya salah. Ia membalas dengan ucapan permintaan maaf yang sama.
Ah, aku tak suka situasi seperti ini. Situasi yang tiba-tiba tanpa sebab ia menjadi super dingin. Aku coba tetap sabar dengan tak menyerah mengajaknya mengobrol dan menghiburnya agar ia tersenyum. Kucoba juga leyeh-leyeh di pundaknya meskipun sebenarnya aku malu. Ya, dia berhasil tersenyum tapi langsung berlalu.
Kucoba membaca pikirannya dan mengatakan padanya apakah kamu sedang memikirkan ini dan itu? Ia merespon dengan anggukan atau senyuman tipis tak berbekas.
Kupikir inikah yang dinamakan 'tantrum' orang dewasa? Ah, Yaa Allah selama ini aku mempelajari bagaimana menghadapi anak-anak yang tantrum tapi belum sampai pada tahap menghadapi suami yang tantrum.
Aku sebenarnya kesal padanya, mengapa ia bisa tantrum tak tahu tempat seperti anak-anak. Tapi kucoba sabar dan melakukan skema sehat dengan mengambil jeda dan pesan dari emosi yang aku rasakan berupa jengkel dan kesal ini.
Alhamdulillah meskipun rasanya ingin mengomel dan meledak saja pertahanan kesabaran ini, akhirnya biidznillah aku bisa melakukan skema sehat ketika emosi itu muncul. Meskipun aku tak tahu bagaimana hal yang seharusnya aku lakukan ketika kudapati suami yang tantrum. Hemm.
Akhirnya kusematkan badge excellent untuk diriku sendiri hari ini. Aku merasa sudah melakukan apa yang seharusnya kulakukan untuk tidak bersikap sama-sama tantrum atau dingin ketika suami tantrum.
Komentar
Posting Komentar