..
Sosok Menawan Berbalut Qalbu yang Bersih ..
“
Harumnya qalbu lebih penting dibandingkan harumnya bunga di hari lebaran “
Kata – kata itu masih
terngiang di telingaku, jelas terekam dalam ingatanku. Lagi-lagi aku merasakan
kata-kata ayah meresap ke dalam nuraniku. Ayah selalu mengajariku banyak hal
tentang hidup, tentang manusia, tentang dunia, tentang akhirat, tentang hati !
Qalbu ! Qalbu ! itu yang selalu ayah tekankan di setiap kata-katanya.
Menurutnya qalbu adalah
hal yang terpenting dalam diri manusia, karena dengan qalbu seseorang bisa
berbuat baik dan karena qalbu pula seseorang bisa berbuat sebaliknya. Qalbu
adalah dasar dari semua perbuatan yang dilakukan. Ayah selalu berpesan agar
anak-anaknya menjaga qalbu-nya . menjaganya agar tetap bersih, tetap suci dan
tidak terkotori oleh hal-hal yang buruk.
Ayah, memang bukanlah
sosok seorang yang sempurna, namun ia selalu menjadi sosok paling sempurna di
mataku. Tak ada duanya dan tak akan bisa digantikan oleh siapapun sampai
kapanpun. Bukan sekedar kata-kata bijaknya yang selalu dibumbui dengan qalbu
yang menawan, namun perbuatannya pun mencerminkan apa yang selalu ia katakan
dalam setiap kata bijaknya. Ayah, sosok yang kuat, pantang menyerah, gagah
berani, cerdas, berhati malaikat dan apapun ! Membuatku bangga memilikinya.
Walaupun kini ayah tak lagi seperti dulu. Seperti ayah yang selalu mengantar
jemputku ke sekolah menggunakan sepeda ontelnya, ayah yang selalu menaikkan aku
ke pundaknya saat aku mendapat ranking pertama di sekolah, yang selalu
membantuku mengerjakan PR kerajinanku, yang selalu memberiku banyak hadiah
ketika aku ulang tahun, yang selalu memanjakanku ketika aku sakit, yang selalu
menyemangatiku dalam segala hal, dan ayah yang selalu melakukan banyak hal yang
tak cuma satu, sepuluh, dua puluh, bahkan beratus ratus hal untukku. Sampai
terkadang aku lupa hal apa saja yang telah dilakukannya untukku ! Dan sampai
terkadang aku malah membuatnya sakit karena aku, membuatnya kecewa karena aku, membuatnya
marah dan kesal.
Ya,, memang ayah yang
sekarang tak lagi seperti ayah yang dulu, kini ayah cuma bisa berbaring tak
berdaya di ranjang tempat tidurnya. Senyumnya yang dulu sumringah penuh
semangat, wajahnya yang dulu gagah penuh wibawa kini terlihat sendu dengan
semburat kesedihan yang selalu ia tutupi dengan senyumnya yang sedikit
dipaksakan.
“ Ayah, makan dulu
buburnya yah ! Bismillah..” kataku sambil berusaha menyuapkan sesendok bubur
ayam yang tadi Ibu sengaja buatkan sebelum pergi kerja.
Semenjak ayah sakit ibu
memang tak tinggal diam. Ibu yang merasa harus mengambil alih peran ayah dalam
menafkahi keluarga sejak beberapa tahun lalu berusaha mencari rezeki dengan
bekerja di sebuah toko di tempat yang tak terlalu jauh dengan rumah kami.
“ Anak ayah sudah
besar, sudah pantas ayah punya seorang menantu, “ canda ayah sambil menatapku.
Aku yang diajak
bercanda cuma tersenyum sambil berusaha menyuapkan sesendok demi sendok bubur
untuk ayah, yang walaupun sebenarnya aku dan ayah juga tahu, sebanyak apapun
makanan yanga masuk, nantinya akan keluar lagi setelah 15menit kemudian.
Entah apa sebenarnya
yang terjadi pada ayah saat ini, semenjak kemarin tepatnya 3 hari setelah hari
Lebaran ayah tiba-tiba kejang-kejang dan mengeluarkan cairan dari mulutnya
setiap 15menit sekali. Gejalanya mungkin mirip dengan stroke tapi entahlah apa itu karena setahuku stroke itu tidak bisa bergerak, berbicara dan berjalan,, tapi ayah
tak seperti itu. Aku sendiri merasa iba pada apa yang diderita ayah, ini
benar-benar menyiksa ayah. Ayah begitu kesakitan saat gejala itu menyerangnya.
Apapun yang dimakannya akan keluar saat 15menit sekali secara berkala, hal itu
juga membuat ayah tak pernah tidur. Bagaimana tidak gejala ini selalu
membangunkan ayah ketika ayah mencoba membenamkan matanya untuk tidur.
Astagfirullah hatiku begitu sakit melihat kondisi ayah yang seperti ini. Tapi
aku tak mau memperlihatkan apa yang aku rasakan, di depan ayah. Aku selalu
mencoba tersenyum, dan menyemangati ayah agar cepat sembuh. Walaupun jauh di
lubuk hatiku aku selalu menangis melihat ayah yang seperti ini.
“ Fit, jaga ibumu,
adikmu juga,, yang akur yang rukun. Biarkan ibumu mencari suami lagi yang sayang
sama ibu,,” kata ayah tiba-tiba.
“ Hush,, ayah jangan
bicara seperti itu,” tepisku segera.
Namun ayah Cuma
menatapku dan tersenyum. Aku melihat beberapa bulir air mata di kelopak matanya
yang hendak turun. Tak sempat aku berkata-kata lagi, air mataku dengan segera
menetes keluar dan semakin deras. Ya
Allah apa maksud perkataan ayah ? Aku mohon sembuhkanlah ayahku, kembalikan
ayahku yang dulu lagi, berilah ayahku kesembuhan ya Allah, jangan ambil
ayahku..
Pintaku dalam diam. Aku
kemudian berlari ke kamarku dan menangis sesenggukan.
Terkadang aku memang
berpikiran kenapa harus ayahku? Kenapa hal ini terjadi pada sosok yang menawan
akhlaknya ini? Astagfirullah..
Ayah memang telah lama
menderita penyakit diabetes, namun dengan pengobatan yang rutin selama beberapa
tahun dan dengan keteguhan ayah untuk sembuh , diabetes yang menimpa ayah berangsur
hilang. Ayah dan keluargaku sungguh senang mengenai hal itu. Ayah kembali
seperti ayah yang sehat yang tak terbebani dengan penyakit diabetesnya. Ayah
pun kembali aktif di berbagai aktifitasnya. Namun, rencana Allah ternyata lain,
diabetesnya memang sembuh tapi entah bagaimana bisa dan bagaimana caranya,
imbas dari diabetes ayah adalah mengenai sarafnya. Itu membuat kedua kaki ayah
tak lagi bisa berjalan normal seperti biasanya, sakit dan kaku kata ayah. Ayah memang masih bisa berjalan namun
dengan perlahan dan dengan bantuan tongkat atau berpegangan pada apa yang ada
di dekatnya. Ayah sendiri menganggap ini hanyalah sebuah ujian yang menimpa
dirinya. Aku salut dengan sosok ayah yang selalu tegar dalam menghadapi apapun
yang terjadi. Bukan tak berusaha, ayah
juga telah mencoba beberapa pengobatan dari mulai pengobatan dokter sampai dengan
pengobatan refleksi agar bisa sembuh. Namun mungkin Allah belum menghendaki
ayah sembuh.
Setahun lamanya ayah
sabar dalam menghadapinya. Hal itu tak menjadikan ayah menjadi seorang yang
berdiam diri. Ia masih selalu aktif dalam kegiatannya walaupun kegiatannya
masih di sekitar rumah. Aku senang melihat ayah yang tak pernah menyerah dengan
keadaan, tapi dalam doaku selalu kupinta agar ayah dapat sembuh lagi seperti
sedia kala.
Ujian ayah ternyata
belum berakhir, saat ayah sudah benar-benar ikhlas dan lapang dada menerima
dirinya yang belum bisa sembuh, ayah dikejutkan dengan ‘penyakit baru’ yang menimpanya. Sebulan lamanya ayah di opname di
rumah sakit karena terdeteksi penyakit paru-paru. Seperti biasa ayah tetap
ikhlas dengan semuanya. Sebulan dijalani dengan perawatan intensif di rumah
sakit. Bukan hanya paru-paru tapi sesuatu yang begitu mengejutkan lagi dokter
ahli saraf mengatakan bahwa saraf pusat ayah sudah terkena hal yang sama
seperti saraf di kedua kakinya. Aku sendiri tak mengerti kenapa dan bagaimana bisa.
Hal ini begitu membuat
aku, Ibu, dan ayah sendiri merasa terkejut. Dan mungkin ayah juga seorang
manusia biasa yang punya batas kesabaran. Mendengar hal ini ayah cuma menangis
dan berkata pada dirinya mengapa hal ini terjadi padanya, tapi kemudian ia juga
sadar bahwa ini cobaan dari Allah yang semakin sayang kepada hambanya. Ayah
juga malah berkata jika hidupnya memang harus berakhir dengan penyakit yang
menimpanya maka ia ikhlas dan ridha. Sungguh ketegaran dan kelapangan ayah
begitu membuatku menangis.
Sepulang dari rumah
sakit kondisi ayah memang membaik dengan kesembuhan total pada penyakit paru-parunya.
Berbeda dengan penyakit sarafnya yang kata dokter sulit disembuhkan.
Namun itu lagi-lagi tak
membuat ayah menjadi down, ia kembali
seperti biasanya. Kembali bisa bercanda, tertawa dan berkumpul bersama keluarga
walaupun kini hanya bisa terbaring di tempat tidur karena fisiknya yang lemah.
Sampai hari lebaran kemarin ayah bisa dibilang semakin membaik walaupun tentu
saja belum sepenuhnya membaik.
Namun hal lain yang
terjadi begitu mengejutkaan lagi saat ayah yang pada hari lebaran terlihat
membaik kini malah mengalami gejala seperti stroke.
“ Fit..” sapa Ibu.
“ Bu.. ayah pasti
sembuh kan? Ayah bisa sembuh kan Bu?” tanyaku, namun yang ditanya cuma
memelukku dan berurai air mata.
“ InsyaAllah Fit..”
jawab ibu.
Esoknya, tepatnya hari
rabu aku mendengar suara seperti benturan di kamar ayah. Aku berlari dan
mendapati ayah yang kejang-kejang seperti biasanya. Kepalanya membentur bentur
pada tembok yang berada di samping tempat tidur ayah. Aku anic dan lantas
memanggil ibu. Tak lama bukan hanya ibu, tapi paman dan bibi-bibi ku juga
berdatangan sambil berwajah panik. Ayah berhenti kejang dan sempat terucap kata
“ Astagfirullah.. Laailaahailallah..”
sebelum akhirnya tak sadarkan diri.
Pamanku bilang ayah
sekarang sedang ‘koma’. Entahlah apa
itu artinya, aku menggenggam tangannya erat dan memintanya bangun sambil
sesekali mengucapkan kalimat-kalimat Allah di samping telinganya. Aku mengambil
air wudhu dan segera mengaji apapun yang aku bisa tepat di dekat kepala ayah,
disamping telinganya. Dengan harapan ayah bisa mendengarnya dan bisa bangun
kembali. Tak hanya aku tapi semua keluargakau juga melakukan hal yang sama.
Mereka mengaji bersama di kamar ayahku.
Namun ayah tak kunjung
sadar dari ‘koma’ nya.
Waktu maghrib pun tiba
dan dalam shalatku aku berdoa,
“
Ya Allah berikanlah yang terbaik untuk ayahku, jika menurut-Mu ayah lebih baik
sembuh maka sembuhkanlah namun jika Engkau menghendaki untuk mengambilnya ke
pelukan-Mu maka aku ikhlas Ya Rabb..”
Aku percaya Allah akan mendengar
doaku, Allah pemilik segala apa yang ada di muka bumi. Dan dengan keputusanNya
lah semuanya terjadi. Apapun keputusan-Nya sebagai makhluk ciptaan-Nya kami
sekeluarga akan berusaha menerima semuanya dengan ikhlas. Sejujurmya tak tega
aku melihat kondisi ayah yang seperti ini, dalam keadaan koma yang entah hingga
kapan ayah terbaring seperti ini.
Selepas sholat isya,
aku kembali ke sisi ayah menggenggam tangannya yang hangat , menciumnya dan
memanggil ayah. Namun yang dipanggil tak terenyuh, aku kembali meneteskan butir
airmata dan mencium keningnya sambil berkali kali mengucap lafaz Allah
ditelinganya berarap ayah mendengar. Dan entah kenapa rasanya enggan bagiku
untuk melepas genggaman tanganku dari tangan ayah, enggan aku tuk pergi dari
sisinya. Aku pun tertidur sebentar di sisi ayah sebelum kemudian dipanggil
ibuku untuk tidur di kamarku saja. Aku pun menuruti perintah ibu pergi ke kamar
setelah utuk kesekian kalinya aku cium tangan halus ayah.
“ Fit.. bangun Fit.. “
Suara ibu
membangunkanku dari tidur yang aku ingat baru 15 menit.
“ Kenapa bu ? “ tanyaku
yang masih terkejut kenapa tiba-tiba aku dibangunkan.
“ Ayo lihat ayahmu, “ kata
ibu sambil mengajakku kembali ke kamar ayah.
Dan Allah ternyata telah
memberikan keputusan terbaiknya. Aku menangis sejadi jadinya, badanku lemas tak
berdaya. Ibuku, adikku, nenekku, semuanya menangis. Aku ingin ini hanya
mimpiku, aku ingin ini bukan kenyataan. Namun, semuanya menyadarkanku bahwa ini
nyata, mereka semua meyakinkanku ini nyata. Mereka semua menangis , menangisi
kepergian sosok yang menawan itu.
“
Inalillahi wa inna ilaihi rajiun”
Rasanya sakit, perih
dan apapun itu Ya Allah. Tapi kami hanyalah manusia biasa yang berada di dalam
genggaman-Mu. Aku ikhlas Ya Rabb. Walaupun begitu menyakitkan. Ayah telah
kembali kedalam pelukkanNya, meninggalkan aku, ibu, adikku dan orang-orang yang
mencintainya. Air mata ini mungkin memang belum bisa surut, sakit ini mungkin
belum bisa terobati namun izinkan aku untuk mengantarkan ayahku dengan
bacaan-bacaan suci-Mu Ya Rabb. Semoga sosok yang menawan dengan qalbu yang
bersih itu ditempatkan disisi mulia-Mu dengan segala naungan rahmat-Mu. Selamat
jalan sosok yang begitu aku sayangi. Kelak semoga kita dipertemukan kembali
dalam naungan rahmat dan karunia Allah.
Allahumagfirlahuu war
hamhuu wa afiihi wa’fu anhuu. ***
Komentar
Posting Komentar